Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kabar dari seorang teman yang
tinggal di Makassar Sulawesi Selatan, bahwa ia melihat seorang Wahabi
menulis bantahan terhadap buku saya, Membedah Bid’ah dan Tradisi dan
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi. Kemudian setelah teman tersebut,
mengirim scan bantahan seorang Wahabi tersebut, ternyata yang menulis
bantahan bernama Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah,
dan dimuat di Majalah Wahabi al-Furqan, Sidayu Gresik.
Setelah itu, kami berusaha menghubungi redaksinya, melalui no HP yang
tertulis di dalamnya, untuk menghubungi penulis bantahan tersebut,
ternyata mereka tidak pernah membalas SMS maupun menjawab call kami.
Setelah saya amati, bantahan Arif, ternyata dia tidak membantah
dalil-dalil yang saya ajukan dalam buku tersebut. Ia hanya menulis
pengertian hadits yang saya ajukan sesuai dengan pengertian Wahabi dan
tidak mampu membantah maksud hadits yang dipahami oleh para ulama ahli
hadits dan kaum Salaf. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengomentari
bantahan Arif yang Wahabi, dalam format dialog agar lebih mudah dipahami
oleh pembaca.
WAHABI: “Bid’ah hasanah tidak ada. Karena agama telah sempurna, sebagaimana dalam firman Allah:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai
agamamu.” (QS al-Ma-idah : 3).
SUNNI: “Ayat di atas tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Dalil
bid’ah hasanah terdapat dalam al-Qur’an dan sekian banyak hadits, yang
tidak Anda komentari dalam artikel lemah Anda. Para ulama salaf, tidak
ada yang menafsirkan ayat tersebut, dengan makna menolak bid’ah hasanah
seperti yang dipahami oleh penganut faham Wahabi. Dalam kitab tafsir
al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bil-Ma’tsur, al-Hafizh al-Suyuthi
mengutip banyak riwayat dari ulama salaf tentang ayat tersebut, semuanya
berkisar antara menafsirkan, bahwa keimanan umat Islam telah sempurna,
dan makna bahwa ibadah haji umat Islam telah sempurna, dengan
ditaklukkannya Kota Mekkah dan dilarangnya kaum Musyrik menunaikan
ibadah haji. (Lihat, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr
al-Mantsur, juz 5 hal. 181 dan seterusnya).”
WAHABI: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Dan awaslah kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap
perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
SUNNI: “Anda tidak menanggapi pemahaman para ulama ahli hadits dan
kaum salaf terhadap hadits tersebut wahai Wahabi. Dalam hal ini al-Imam
al-Hafizh al-Nawawi menyatakan:
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ. (الإمام الحافظ
النووي، شرح صحيح مسلم، ٦/١٥٤).
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Oleh karena hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah redaksi general yang jangkauan hukumnya dibatasi, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah
(buruk). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian
sesuai dengan komposisi hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram,
makruh dan mubah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang
adanya bid’ah hasanah, dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela. Dalam konteks ini, Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:
وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلاَلُ مَنِ ابْتَدَعَ طَرِيْقًا أَوِ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَذْكُرْهُ، وَمَا خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ ابن تيمية، مجموع الفتاوى ۲٠/١٦٣).
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara
atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna
tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyebutnya.
Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum
Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya,
terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak
menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah,
berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan
al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal
dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz
20, hal. 163).
WAHABI: “Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:
“Barangsiapa yang melakukan suatu bid’ah dalam Islam yang dia anggap
baik bid’ah tersebut, maka ia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah berfirman: ‘Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.’ Oleh
sebab itu, apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka ia
bukan termasuk agama pula hari ini.” (Al-Ihkam, Ibnu Hazm 6/225 dan
al-I’tisham, al-Syathibi 1/64).”
SUNNI: “Pernyataan Imam Malik bin Anas di atas bukan pernyataan tegas
bahwa bid’ah hasanah tidak ada. Karena dalam konsep madzhab beliau,
bid’ah hasanah dimasukkan ke dalam Mashalih Mursalah. Sebagaimana
dimaklumi, Istihsan dan Mashalih Mursalah termasuk sumber pengambilan
hukum dalam madzhab Maliki. Sementara madzhab Syafi’iy, tidak mengakui
keduanya sebagai sumber pengambilan hukum.
WAHABI: “Salaf yang shaleh sangat keras dalam melarang setiap
kebid’ahan, sebagaimana dinukil dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma bahwa beliau berkata:
كل بدعة ضلالة وإن رأها الناس حسنة
“Setiap bid’ah adalah kesesatan walaupun dipandang oleh manusia sebagai sesuatu kebaikan.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ikutilah dan jangan berbuat
bid’ah! Sebab, sungguh itu telah cukup bagi kalian. Dan ketahuilah bahwa
setiap bid’ah adalah sesat.” (Ibnu Nashr: 28 dan Ibnu Wadhdhah: 17).
SUNNI: “Memahami perkataan seorang ulama, jangan sepotong-sepotong.
Misalnya, perkataan Abdullah bin Umar, tentang bid’ah yang dianggap
sesat oleh beliau, hal ini jelas hanya bid’ah sayyi’ah, bukan bid’ah
yang hasanah. Karena beliau sendiri termasuk pelaku bid’ah hasanah.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menunaikan ibadah haji adalah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ
لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ
شَرِيْكَ لكَ.
Tetapi Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
Hadits tentang doa talbiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dan tambahan Ibn Umar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/170), Muslim
(1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayidina Umar
radhiyallahu ‘anhu juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama
sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn
Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kalimat:
لَبَّيْكَ مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ.
Sedangkan perkataan Sayyidina Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
yang melarang melakukan bid’ah, tentu harus kita artikan dengan bid’ah
sayyi’ah. Sedangkan bid’ah hasanah, tidak termasuk dalam larangan
beliau. Bukankah beliau telah berkata:
عن ابن مسعود قال فما رآه المسلمون حسنا فهو عند اللَّه حسن ، وما رآه المسلمون قبيحا فهو عند اللَّه قبيح
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apa saja yang dianggap baik
oleh umat Islam, maka hal tersebut baik menurut Allah. Dan apa saja yang
dianggap buruk oleh umat Islam, maka hal tersebut buruk menurut Allah.”
(HR. Ahmad dalam as-Sunnah, al-Bazzar, al-Thayalisi, al-Thabarani, Abu
Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’, dan al-Baihaqi dalam al-I’tiqad. Menurut
al-Hafizh al-Sakhawi, hadits ini mauquf yang hasan. Lihat, al-Sakhawi,
al-Maqashid al-Hasanah, hadits no. 914).
Di sisi lain, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga
mencontohkan bid’ah hasanah, dalam menyusun bacaan shalawat kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, murid
terdekat Syaikh Ibnu Taimiyah, dan salah satu ulama otoritatif di
kalangan kaum Wahabi, meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam yang disusun oleh para sahabat dan ulama
salaf, dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam shallallahu ‘alaihi wasallam. Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ
عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ
النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ
وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ
مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ.
(الشيخ ابن القيم، جلاء الأفهام، ص/٣٦).
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kaum salaf dan para
sahabat tidak menolak hal-hal yang memang termasuk bid’ah hasanah dalam
pandangan agama. Kalaupun ada pernyataan dari mereka yang melarang
berbuat bid’ah, itu maksudnya bid’ah sayyi’ah atau bid’ah dalam akidah,
seperti bid’ah ajaran Wahabi. Bid’ah ajaran Wahabi, adalah bid’ah yang
sangat ditentang oleh kaum salaf.
WAHABI: “Penulis begitu antusias mengajak kaum muslimin kepada bid’ah sebagaimana tampak sekali di dalam perkataan-perkataannya:
1) Hlm. 16: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah seperti shalat dan lainnya..”
2) Hlm. 21: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama.”
SUNNI: “Apa yang ditulis oleh kami, hanya menyampaikan ajaran Islam
yang dipahami oleh para ulama salaf dan ahli hadits. Anjuran
memperbanyak bid’ah hasanah, ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
عن جرير بن عبد الله -رضي الله عنه- قال قال رسول الله -صلى
الله عليه وسلم-: «مَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِها
بعْدَهُ كُتِب لَه مثْلُ أَجْر من عَمِلَ بِهَا وَلا يَنْقُصُ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، ومَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وزر من عَمِلَ بِهَا ولا يَنْقُصُ
من أَوْزَارهِمْ شَيْءٌ» رواه مسلم.
“Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik dalam Islam, maka
dia mendapat pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa
mengurangi dari pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai
perbuatan yang jelek dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan
dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari dosa mereka
sedikitpun.” (HR. Muslim).
Hadits di atas, merupakan dalil yang tegas dan jelas, agar kita
memotivasi umat Islam untuk selalu melakukan bid’ah hasanah. Dalam
konteks ini, al-Imam al-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, ketika
mengomentari hadits tersebut:
قوله صلى اللـه عليه وسلم من سن في الإسلام سنة حسنة فله
أجرها إلى آخره فيه الحث على الابتداء بالخيرات وسن السنن الحسنات والتحذير
من اختراع الأباطيل والمستقبحات وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى اللـه عليه
وسلم “كل محدثةٍ بدعة وكل بدعة ضلالة” وأن المراد به المحدثات الباطلة
والبدع المذمومة ثم قال “والبدع خمسة أقسامٍ: واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة
ومباحة”انتهى أنظر شرح النووي لصحيح مسلم ج-6
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang memulai
dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia akan memperoleh pahalanya …”
Hadits tersebut mengandung motivasi untuk memulai perbuatan-perbuatan
kebaikan dan memulai perbuatan-perbuatan yang baik, serta peringatan
agar menjaduhi memulai kebatilan-kebatilan dan perbuatan-perbuatan yang
dianggap buruk. Dalam hadits ini juga ada pembatasan terhadap sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Setiap perkara baru adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah tersesat”. Dan bahwa yang dimaksud dengan hadits
tersebut adalah perkara-perkara baru yang batil dan bid’ah-bid’ah yang
tercela.” … Bid’ah itu ada lima bagian; yaitu bid’ah wajib, mandub,
haram, makruh dan mubah.” (Syarh Shahih Muslim, karya al-Imam
an-Nawawi).
Demikianlah, dorongan kami kepada umat Islam agar menyebarkan dan
memperbanyak bid’ah hasanah, semata-mata menyampaikan pesan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hadits-hadits beliau, seperti yang
dipahami oleh para ulama ahli hadits, bukan pemahaman kaum Wahabi.
WAHABI: “Ketidaktahuan penulis terhadap Sunnah Taqririyah dan
menganggapnya sebagai bid’ah hasanah. (Ustadz Arif, menulis panjang
lebar tentang makna Sunnah, tetapi tidak menanggapi dalil-dalil kami
serta pernyataan para ulama salaf dan ahli hadits tentang bid’ah).”
SUNNI: “Para ulama yang biasa membaca kitab-kitab hadits, akan
memahami bahwa Sunnah-sunnah Taqririyah termasuk dalil-dalil bid’ah
hasanah. Misalnya hadits shahih berikut ini:
عَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه قَالَ:
كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ
رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ
رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا
مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ:
أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا
أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري (799) والنسائي (1016) وأبو داود
(770) وأحمد (19018) وابن خزيمة (614).
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu berkata: “Suatu ketika kami
shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau bangun
dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang
laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran
thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya:
“Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”.
Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis
pahalanya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (799), al-Nasa’i (1016), Abu Dawud (770), Ahmad (4/340) dan Ibn Khuzaimah (614).
Hadits atau sunnah taqririyah di atas termasuk dalil adanya bid’ah hasanah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور اذا
كان غير مخالف للمأثور وعلى جواز رفع الصوت بالذكر ما لم يشوش على من معه.
(الحافظ ابن حجر، فتح الباري، 2/361).
“Hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru yang tidak ma’tsur dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur
(datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), dan bolehnya
mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang
lain.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 2 hal. 361).
Dari paparan di atas, jelas sekali, bahwa Sunnah Taqririyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk dalil bid’ah hasanah
dalam shalat menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Kalau Anda
menolak pandangan beliau, karena mengikuti pendapat Syaikh Ibnu Baz atau
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, itu bagian dari hak Anda untuk taklid kepada
mereka. Biarkan kami, umat Islam mengikuti al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Imam
al-Nawawi dan lain-lain. Tapi mana hujjah Anda???
Bersambung ….
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
Sumber: Di Sini
0 komentar :
Posting Komentar