Home » » Membersihkan Hati

Membersihkan Hati

Seorang sahabat di Jakarta, suatu hari membalas email saya. Ia memberi masukan sangat berharga. Karena ia seorang penulis, saya banyak bertanya seputar dunia tulis menulis. Ia mengatakan, bahwa bagusnya sebuah tulisan, tidak hanya karena teknik penulisannya saja. Tapi tulisan yang bagus adalah tulisan yang mengandung 'ruh'. Sedang untuk memasukkan ruh ke dalam tulisan, adalah dengan mengasah nurani dan jiwa kita.

Lama, saya termenung, setelah membaca email sahabat saya itu. Yang perlu saya garis bawahi adalah kalimat terakhir yang menyebutkan: mengasah nurani dan jiwa kita. Kata mengasah dalam pergaulan kita sehari-hari bermakna juga, mempertajam. Kalau mempertajam pisau, arit, sabit, golok, cangkul, itu tentu saja mudah. Sebab itu pekerjaan sehari-hari saya waktu di kampung. Tapi kalau mengasah dan mempertajam nurani dan jiwa? Sahabat, betapa susahnya. Saya mencobanya sampai jatuh bangun hingga sekarang. Bukankah mengasah dua hal itu adalah butuh konsekwensi diri yang luar biasa? Ya, konsekwensi untuk tazkiyatunnafs, tentunya.

Saya merasa sangat berterima kasih kepada sahabat saya itu. Karena masukannya menuntut saya harus bersih diri, dari penyakit-penyakit hati. Berarti saya harus meningkatkan kesabaran, keiikhlasan, keistiqamahan, berprasangka yang baik, ridla, qonaah dan lain-lain. Dan sebisa mungkin harus mengurangi atau kalau bisa membuang jauh-jauh iri, dengki, bohong, kikir, prasangka tidak baik, malas, riya, sombong, judes dan sebagainya. Yang itu semua tentu saja bisa mengotori jiwa setiap hari.

Masukan dari sahabat saya itu, mengingatkan saya kepada pengalaman beberapa tahun lalu. Waktu itu saya masih 'kabur kanginan' alias jadi gelandangan di kota pendidikan Yogyakarta. Suatu hari, saya membaca sebuah kolom Emha Ainun Nadjib di sebuah koran daerah. Ia bercerita bahwa, seorang sutradara film, sedang kebingungan mencari sekelompok orang, untuk berteriak memekikkan takbir. Padahal sang sutradara itu sudah keliling pulau Jawa, mencoba mengumpulkan orang di beberapa tempat. Namun setelah direkam, suara 'Allahu Akbar' itu terasa garing, alias kering. Semuanya sama sekali tidak mengeluarkan greget bagi yang mendengarnya. Seolah suara itu tidak menunjukan sama sekali terhadap keagungan dan kebesaran Allah SWT. Akhirnya, menurut cerita itu, seseorang menyarankan agar sang sutradara film itu pergi ke Aceh saja. Ia bersama kru-nya pun pergi ke tanah rencong. Dan benar, di propinsi Serambi Mekkah itu, sang sutradara menemukan gema takbir dari sekelompok orang Aceh yang punya greget, punya rasa lain bagi si pendengar. Dan dari orang-orang yang kini sudah pergi ke pangkuan-Nya, karena tsunami itulah, sang sutradara baru berani memasukan gema takbir itu ke dalam narasi film-nya. Karena dirasa lebih punya kekuatan tersendiri. Alias punya 'ruh' dalam melafadzkan kalimah agung itu.

Masukan dari sahabat saya dan cerita dari Aceh itu, tentu bukanlah hal yang sembarangan. Karena sudah jelas sekali bahwa semua itu membutuhkan pebersihan hati dibaliknya. Pembersihan hati? Ya, tentu saja. sebab tidak mungkin kalau hanya mengucapkan tanpa didasari kejernihan jiwa.

Dalam membahas persoalan hati ini para sufi sering mengibaratkan bahwa ilmu hati, ilmu batin ini, sungguh pelik, lembut, dan memang tidak nampak oleh mata lahir. Sehingga ada yang mengatakan bahwa ilmu ini adalah ilmu sir, ilmu rahasia di dalam hati dan jiwa masing-masing orang. Saking lembutnya dan peliknya ilmu hati ini, sehingga kita sering berbuat dosa, tapi seolah tak terasa bahwa kita sedang berbuat dosa kepada Yang Maha Pencipta.

Mungkin hari ini kita sedang dianugerahi kesuksesan. Suatu hari kita bergumam sendiri di tengah keheningan. Seandainya saya tidak bekerja keras, dan membikin strategi yang handal, mungkin saya tidak akan jadi begini. Tak terasa kita berbangga diri. Dan hanyutlah kita terhadap sesuatu yang mengotori hati.

Atau, sekarang kaita sedang mengalami kegagalan telak. Sehingga suatu waktu kita mengeluh, kenapa Tuhan jadikan kita begini? Padahal saya sudah berusaha semaksimal mungkin dan juga dengan parameter Islami? Maka tak terasa juga kita terseret dalam prasangka tidak baik kepadaNya. Dan sudah barang tentu, ini adalah penyakit hati juga.

Sering, sering sekali kita mengalami hal-hal seperti itu. Yang ternyata adalah perbuatan menumpuk dosa secara halus sekali. Lantas bagaimana mengatasi hal seperti ini?

Al Ghozali, juga memberi batasan dalam kaitan dengan pembersihan hati ini. Bahwa seorang yang bersih hatinya adalah mereka yang tidak terbuai dengan indahnya dunia. Tidak lalai dengan gemerlapnya isi dunia ini. Dan mereka tidak pernah lupa untuk berdzikir atau mengingat Allah SWT, di mana saja dan kapan saja. Dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.

Tak kita sadari memang, di akhir zaman ini, apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita rasakan, sangat mudah sekali mempengaruhi hati dan jiwa kita. Dan seandainya kita jarang mengingat Allah, tentu kita akan hanyut ke dalamnya. Sebab setan juga ikut berperan mempengaruhi kita. Dan rupanya mahluk ini istiqamah sekali dalam menggoda kita.

Tak ada salahnya jika kita mengingat kembali sekaligus mendendangkan syair dan lagu penyanyi asal Wanadadi, Banjarnegara Ebiet G Ade. Sekedar untuk mengasah nurani dan jiwa :

kita mesti telanjang
dan benar-benar bersih
suci lahir dan di dalam batin
tengoklah ke dalam sebelum bicara
singkirkan debu yang masih melekat.


Kalau sudah begitu, InsyaAllah, kata-kata kita, hasil pena kita, langkah dan tindak tanduk kita, tentu bukanlah semata-mata dari kemampuan kita. Melainkan bimbingan dan tuntunan langsung dari Allah SWT. Sehingga tidak menutup kemungkinan apa yang kita omongkan, apa yang kita tulis, dan apa yang kita kerjakan akan dengan mudah diikuti oleh orang lain yang mendengar perkataan, membaca tulisan dan melihat perilaku kita.

"Beruntunglah orang-orang yang membersihkan jiwa. Dan merugilah orang-orang yang mengotorinya". (Asy Syam 8-9)

Maka, tidak mustahil seandainya kita akan termasuk segolongan orang yang dipersilakan oleh Allah untuk memasuki suatu tempat yang tak ada seorangpun yang akan menolaknya.

"Hai jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku Dan masuklah ke dalam sorga-Ku" (Al Fajr : 27-30)

Membaca ayat tersebut, saya hanya bisa bertanya pada diri sendiri. Sudahkah saya serius dalam membersihkan hati yang rupanya makin hari makin berat ini? Saya tertawa kecil. Bukan mentertawakan siapa-siapa. Tapi mentertawakan diri sendiri yang masih kotor ini.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan masukkan email Anda di tempat yang disediakan untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Pribadi Abiza el Rinaldi

0 komentar :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blog Pribadi Abiza el Rinaldi - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger