مِنْ عَلاَمَةِ اْلاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزُّلَلِ
Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf
--Ibnu Atha'illah al-Sakandari--
"Amal
yang dimaksud di sini ialah amal ibadah, seperti shalat dan dzikir. Ada
2 kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan
keselamatan diri mereka pada amal ibadah mereka (bukan pada Allah secara
murni). Mereka itu adalah para 'abid (orang yang tekun beribadah) dan para murid (orang
yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan pertama menganggap
amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan
menghindari siksa Allah. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal
ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri mereka
kepada Allag, menyingkap tirai penghalan hati, membersihkan keadaan
batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbai rahasia ketuhanan lainnya.
Kedua
golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka
itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka
menganggap amal ibadah sebagai perbuatan mereka sendiri dan yakin bahwa
amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik (arif).
Mereka tidak bergantung sedikit pun pada amal ibadah yang mereka
lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah
Allah SWT semata, sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua
tindakandan ketentuan Allah SWT.
Dalam
hikmah di atas, Ibnu Atha'illah menyebut salah satu tanda orang-orang
yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka
lakukan, bukan pada Allah secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba
bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila di
saat melakukan maksiat dan dosa ia kehilangan harapan pada Allah Yang
Maha Rahmat yang akan memasukkannya ke surga, menyelamatkannya dari
azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap termasuk golongan 'abid atau murid. Namun, apabila ia merasa dirinya nihil dan tak berdaya, maka ia termasuk golongan 'arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan 'arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.
Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan), golongan 'arif tidak
memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan
kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat
taat maupun khilaf, karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa
takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah
mengurangi rasa takutnya kepada Allah, dan ketaatan pun tak menambah
rasa harapnya kepada-Nya.
Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) 'arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid.
Melalui hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha'illah ingin mendorong para salik (peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah; termasuk bergantung pada amal ibadah.
0 komentar :
Posting Komentar