Kenduri arwah/tahlilan biasanya dilakukan umat Islam pada hari ke-7 (bahkan ada yang bersedia melakukannya selama tujuh hari berturut-turut), ke-40, ke-100, setahun, dua tahun dan hari ke-1000 dari kematian seseorang. Setelah itu ada juga yang kemudian melakukannya setiap tahun. Sebagian kalangan ada yang mengatakan bahwa tradisi semacam itu berasal dari ajaran Hindu. Mereka juga mengatakan bahwa menjamu dan bersedekah selama tujuh hari berturut-turut ketika ada orang yang meninggal dunia sebagai sebuah sinkritisme dari agama Hindu dan Budha. Benarkah demikian?
Tentu saja
tuduhan yang demikian itu tidak benar. Sebab, membaca surat Yasin, berdzikir dan mendoakan orang
yang telah meninggal dunia serta bersedekah yang pahalanya diniatkan untuk si
mayit kapan pun boleh dilakukan. Kalau Anda mau melakukannya pada hari ke-5,
ke-7, ke-20, ke-50, ke-1000, tiap tahun atau bahkan setiap hari sekalipun diperbolehkan.
Untuk melaksanakan amal shalih semacam itu kita diberi kebebasan untuk memilih
waktu sesuai dengan keinginan kita, karena ia hanyalah sebuah ibadah yang
bersifat umum yang tidak terikat waktu pelaksanaannya.
Mungkin Anda
bertanya, apakah ada dalil dalam agama ini yang membolehkan seseorang untuk
memilih waktu-waktu tertentu untuk melakukan amal shalih tertentu, dan itu
dilakukan secara berketerusan?
Jawabnya, ada. Simaklah penjelasan berikut ini:
Jawabnya, ada. Simaklah penjelasan berikut ini:
Dalam ash-Shahihain disebutkan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ، مَاشِيًا وَرَاكِبًا،
وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu, baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan, sedangkan Abdullah bin Umar ra pun selalu melakukannya.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Dalam menjelaskan hadits ini, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
الْحَدِيْثُ عَلَى الْخْتِلاَفِ طُرُقِهِ
دَلاَلَةٌُ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيْصِ بَعْضِ اْلأَيَّامِ بِبَعْضِ اْلأَعْمَالِ
الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ
Artinya: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan diperbolehkannya menentukan sebagian hari-hari tertentu untuk melakukan sebuah amal shalih dan dilakukan secara terus menerus.” (Fath al-Bari, 3/69).
Pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani ini
menjelaskan kepada kita bahwa kita diizinkan untuk memilih waktu-waktu tertentu
untuk mengamalkan amal shalih tertentu dan dilakukan secara terus menerus. Dengan
kata lain, Anda boleh menentukan, misalnya membaca surat Yasin setiap malam Jumat, membaca surat ar-Rahman setiap
malam Senin, bersedekah setiap pagi di hari Jumat, dan seterusnya. Anda pun
boleh mengucapkan doa-doa tertentu pada hari-hari tertentu. Termasuk di
dalamnya Anda boleh membaca surat
Yasin dan dzikir tahlil serta doa pada hari ke-7, ke-40 dan seterusnya dari
kematian seseorang. Penentuan waktu-waktu yang demikian itu sesungguhnya telah
tercakup dalam keumuman makna yang terkandung dalam hadist di atas.
Jika ada
kalangan yang mengatakan bahwa penentuan hari-hari yang ada dalam tradisi 7,
40, 100 dan seterusnya itu berasal dari agama Hindu jelas salah. Karena dengan
hadits di atas kita diperbolehkan untuk menentukan waktu-waktu tertentu guna
mengamalkan amal shalih tertentu dan dilakukan secara terus menerus, seperti
yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di atas.
Demikian pula
dengan waktu pelaksanaan tradisi kenduri arwah/tahlilan. Umat Islam, khususnya
di tanah Jawa, biasanya melakukannya pada hari ke-7, ke-40, ke-100, setahun,
dua tahun dan ke-1000 dari kematian seseorang. Berdasarkan hadits di atas dan penjelasan
yang disampaikan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, maka hal itu diperbolehkan. Yang
disebut boleh (mubah) adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mendapat
pahala dan tidak pula berdosa. Demikian pula jika ditinggalkan, tidak berpahala
dan tidak berdosa. Artinya, menentukan hari-hari tertentu tidaklah berpahala.
Yang mengandung pahala adalah amaliah yang dikerjakan di dalamnya. Jadi,
menentukan hari-hari tertentu tidaklah memberikan manfaat apa pun bagi si mayit
dan tidak pula memberikan pahala bagi yang melakukannya; namun amaliah di
dalamnya berupa pembacaan surat
Yasin, berbagai macam dzikir dan doa dalam tahlilan, itulah yang akan memberi
manfaat bagi si mayit jika pahalanya diniatkan untuknya.
Hal yang sama
juga terjadi pada penentuan waktu-waktu tertentu untuk mengadakan
pengajian/majelis taklim. Misalnya, ada yang menetapkan pengajian dilakukan
setiap Ahad pagi. Penentuan semacam itu diperbolehkan berdasarkan hadits di
atas. Memilih waktu pengajian setiap Ahad pagi tidaklah memberikan pahala apa
pun bagi pelakunya. Yang menghasilkan pahala adalah amaliah yang dilakukan di
dalamnya, yakni majelis taklim/pengajian yang dilaksanakan pada waktu Ahad pagi
tersebut.
Ilustrasi
singkat dan gamblang yang bisa diberikan adalah sebagai berikut:
Anda bersama
sekelompok umat Islam lainnya di satu kampung bersepakat untuk melaksanakan
pengajian setiap malam Jumat, mulai pukul 20.00 hingga 21.00. Adakah dalil yang
menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pengajian
diadakan pada waktu yang Anda tetapkan itu? Tentu saja Anda akan menjawab tidak
ada. Namun, bukan berarti hal itu tidak diperbolehkan, karena ia telah tercakup
dalam makna hadits Ibnu Umar ra di atas. Jika ada pertanyaan, apakah Anda dan
jamaah Anda akan memperoleh pahala dengan menetapkan waktu tersebut? Jawabnya
tidak. Anda dan jamaah Anda tidak mendapatkan pahala apa pun jika hanya
menentukan waktu pelaksanaan saja, namun tidak mengamalkannya. Maka, pahala hanya
akan Anda dapatkan bersama para jamaah karena majelis taklim/pengajian yang
Anda lakukan pada waktu tersebut.
Nah, seperti
itulah yang terjadi pada penentuan waktu tradisi kenduri arwah/tahlilan yang
dilaksanakan pada hari-hari tertentu dari kematian seseorang. Jika ada orang
yang mengatakan hal itu haram dan bid’ah, maka ia harus mampu menunjukkan dalil
yang mengharamkannnya. Apabila ia tidak mampu menunjukkannya sesungguhnya ia
telah berbohong dan berfatwa sesuai dengan tuntunan hawa nafsunya belaka.
Sedangkan yang berkaitan dengan memberi sedekah
selama tujuh hari berturut-turut dari waktu kematian seseorang, ketahuilah
bahwa hal itu memiliki landasan dari amalan yang dilakukan oleh para salaf yang
shalih. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab az-Zuhd menyatakan
bahwa bersedekah selama tujuh hari adalah perbuatan sunnah, karena merupakan
salah satu bentuk doa kepada mayit yang sedang diuji di dalam kubur selama
tujuh hari. Sebagaimana yang dikutip oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi
li al-Fatawi berikut ini:
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا اْلأَشْجَاعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ
الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ
أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
Artinya: “Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, meriwayatkan kepada kami Hasyim bin al-Qasim, ia berkata, “Meriwayatkan kepada kami al-Asyja’i dari Sufyan, yang berkata, “Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian (kalangan Salaf) mensunnahkan bersedekah makanan (yang pahalanya) untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (al-Hawi li al-Fatawi, Juz 2, halaman 178).
Selain dikutip oleh Imam as-Suyuthi, hadits di
atas juga disebutkan oleh al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliyah (Juz
4, halaman 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32) dan
al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (Juz 5, halaman 330).
Menurut Imam
as-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus
dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat oleh hadits Imam
Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan
hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf,
sehingga kedudukan hadits Imam Thawus ini dihukumi marfu’ yang shahih.
Imam as-Suyuthi juga mengatakan bahwa Imam Thawus
yang wafat pada tahun 110 H dikenal sebagai salah seorang generasi pertama
ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh
orang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Guru-guru Imam
Thawus adalah para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika
beliau mengatakan bahwa orang yang meninggal dunia diuji di dalam kuburnya
selama tujuh hari, maka tentulah hal itu bukan hasil ijtihadnya sendiri, karena
persoalan alam barzakh adalah persoalan yang bersifat ghaib yang tidak bisa
diijtihadi. Pengetahuan itu mestilah beliau dapatkan dari para gurunya yang
berasal dari kalangan shahabat, dan para shahabat pun tidak akan mengetahui hal
itu kecuali dari guru mereka, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini sesuai dengan kaidah yang diakui para ulama, baik dari kalangan ahli
ushul maupun ahli hadits: “Setiap
riwayat seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma ruwiya mimma
la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh
dan akhirat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada shahabat dan tidak
sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Yang juga perlu diingat bahwa tradisi bersedekah
selama tujuh hari berturut-turut dari hari kematian seseorang telah berlangsung
di Makkah dan Madinah sejak generasi shahabat hingga abad ke sembilan Hijriah,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam as-Suyuthi berikut ini:
أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ
أَيَّامٍِ بَلَغَنِيْ أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اْلآنَ بِمَكَّةَ
وَالْمَدِيْنَةِ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ
إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍِ إِلَى الصَّدْرِ
اْلأَوَّالِ
Artinya: “Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyah) di Mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa shahabat sampai sekarang, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (al-Hawi li al-Fatawi, Juz 2, halaman 194).
Cobalah Anda
perhatikan. Imam as-Suyuthi telah menyatakan bahwa bersedekah tujuh hari
berturut-turut sejak kematian seseorang sudah berlangsung sejak masa shahabat
hingga masa beliau sendiri di Makkah dan Madinah, yakni sekitar abad ke-9
Hijriyah. Lalu, bagaimana dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa tradisi
memberi sedekah tujuh hari berturut-turut itu dari agama Hindu? Layakkah kita
mempercayainya? Tentu saja pendapat yang demikian itu hanya keluar dari lisan
seseorang yang tidak memiliki wawasan keislaman yang baik. Maka berhati-hatilah
terhadap mereka yang bisanya hanya menyalah-nyalahkan, namun tidak memiliki
ilmu yang memadai perihal sesuatu yang disalahkannya itu.
Lalu, bagaimana
dengan tradisi setahunan atau yang dalam bahasa Jawa sering disebut khol?
Adakah dalil untuk amaliah yang demikian itu? Tentu saja ada. Ketahuilah,
ketika para ulama mengadakan acara khol tentulah mereka telah
mempertimbangkannya dengan neraca syari’at. Jika hal itu bertentang dengan
syari’at, pasti mereka akan meninggalkannya.
Dalam sebuah
hadits disebutkan sebagai berikut:
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَأْتِى قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ، فَيَقُوْلُ:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَ الدَّارِ. وَكَانَ أَبُوْ
بَكْرٍِ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kuburan para syuhada ketika awal tahun, beliau bersabda, “Semoga keselamatan terlimpah atas kamu sekalian, karena kesabaranmu dan sebaik-baiknya tempat kembali adalah surga.” Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Imam Abdurrazzaq dalam Mushannaf, 3/537 dan Imam al-Waqidi dalam al-Maghazi).
Hadits di atas
memberikan informasi kepada kita tentang kebiasaan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mendatangi kuburan para syuhada di awal tahun. Beliau
menziarahi mereka dan mendoakan mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Abu
Bakar, Umar dan Utsman ra. Berdasarkan dalil ini pula menjadi sebuah tradisi di
kalangan umat Islam untuk mengadakan acara khol. Pada acara tersebut
akan dibacakan surat Yasin, bahkan ada yang membaca al-Qur’an satu khataman
Qur’an, dilanjutkan dengan tahlilan dengan berbagai untaian dzikir
kepada Allah, dan menghadiahkan pahala untuk orang yang meninggal dunia serta
mendoakannya agar memperoleh tempat yang mulia di sisi Allah subhanahu wa
ta’ala.
Sebenarnya, hadits Ibnu Umar ra yang disebutkan
lebih awal sudah mencakup seluruh penentuan waktu dalam acara kenduri arwah,
baik yang dilakukan hari ke-7, 40, 100, setahun dan seterusnya. Berdasarkan
hadits tersebut, maka melakukan kenduri arwah pada hari-hari tertentu
sebagaimana yang telah menjadi tradisi di tengah masyarakat adalah boleh,
selama di dalamnya tidak dilakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum-hukum
syari’at yang telah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sumber: Buku Haramkah Tahlilan Yasinan dan Kenduri Arwah, hal. 123 - 128
Sumber: Buku Haramkah Tahlilan Yasinan dan Kenduri Arwah, hal. 123 - 128
0 komentar :
Posting Komentar