Puasa
khusus tanggal 8 Dzulhijjah (hari Tarwiyah) sebenarnya tidak ada dalil shahih yang
menyebutkannya, yang ada adalah dalil puasa 10 hari bulan Dzulhijjah. Dalilnya
adalah sebagai berikut :
Dari Hafshah ra, ia berkata:
أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
“Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi Saw: [1]
Puasa hari Asyura, [2] Puasa 10 hari (bulan Dzulhijjah), [3] puasa tiga hari
tiap bulan, dan [4] dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai).
Menurut
Syekh Musthafa al-Adawi, ada dua hadits yang membicarakan tentang puasa 10 hari di awal
Dzulhijjah secara khusus:
- Hadits Ummul Mukminîn ‘Aisyah ra yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang redaksinya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَصُمْ
الْعَشْرَ
“Bahwasanya Nabi Saw sama sekali tidak pernah berpuasa
sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”
- Diriwayatkan oleh Imam Nasâ’i dan lainnya dari jalur seorang rawi yang bernama Hunaidah bin Khâlid, terkadang ia meriwayatkannya dari Hafshah yang ia berkata:
قَ
أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
“Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi Saw: [1]
Puasa hari Asyura, [2] Puasa 10 hari (awal bulan Dzulhijjah), [3] puasa tiga
hari tiap bulan, dan [4] dua rakaat sebelum fajar.”
Menurutnya, pernyataan
Hunaidah pada riwayat ini diperselisihkan oleh para ulama, sebab terkadang ia
meriwayatkan dari ibunya, dari Ummu Salamah sebagai ganti dari Hafshah, dan
terkadang pula dari Ummu Salamah secara langsung, kemudian ia mendatangkan
bentuk lain dari bentuk-bentuk yang berbeda!”
Dari
sisi tingkat ke-shahih-an, tentu lebih shahih hadits ‘Aisyah yang terdapat di
dalam Shahîh Muslim, sekalipun padanya terdapat bentuk perselisihan dari
al-A’masy dan Manshûr.
Namun
demikian, di antara ulama ada yang berusaha mengompromikan dua hadits tersebut
dan memberi kesimpulan:
“Bahwa masing-masing dari istri Nabi Saw menceritakan
apa yang ia saksikan dari beliau. Bagi yang tidak menyaksikan tentu akan menafikan
keberadaannya dan yang menyaksikan jelas akan menetapkan keberadaannya. Sedang Rasulullah Saw
sendiri menggilir setiap istrinya dalam sembilan malam (hanya) satu malam. Maka
atas dasar ini dapat dikatakan, “Jika seseorang terkadang berpuasa dan
terkadang tidak berpuasa, atau ia berpuasa beberapa tahun, lalu tidak berpuasa
beberapa tahun (berikutnya), ada benarnya, maka mana pun dari dua pendapat
tersebut yang diamalkan maka ia telah memiliki pendahulu.”
Bolehkah
Melaksanakan Puasa (Pada Hari) Tarwiyah?
Tentang hal ini terdapat hadits yang
diriwayatkan Imam Ad Dailami:
صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ
يَوْمِ عَرفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ
“Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun,
dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun.”
Hanya
saja menurut sebagian ulama hadits ini statusnya maudhu’ atau palsu, dan
oleh sebagian lainnya dikatakan sebagai dhaif.
Namun
demikian, terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam menilai status
hadits tersebut, tentulah puasa pada hari tarwiyah itu dibolehkan. Namun tentu
yang dijadikan dalil untuk menetapkan kebolehannya bukanlah hadits di atas,
namun sabda Rasulullah Saw berikut:
مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا
فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ
يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ
“Tidak ada amal yang lebih afdhal dibanding amal pada
hari-hari ini.” Mereka bertanya: “Tidak juga jihad?” Beliau menjawab: “Tidak
pula oleh jihad, kecuali seseorang yang keluar untuk mengorbankan jiwa dan
hartanya, lalu dia tidak kembali dengan sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari)
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى
اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ
الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ
اللهِ؟ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ
بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
"Tidak
ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh yang
dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)."
Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi Saw
menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat
jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
Menurut
Imam Ibnu Katsir yang dimaksud “pada hari-hari ini” adalah sepuluh hari
Dzulhijjah. (Tafsir al-Quran Al ‘Azhim, 8/390. Lihat Syekh Sayyid Ath
Thanthawi, al-Wasith, 1/4497. Mawqi’ At Tafasir)
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa melaksanakan puasa pada hari Tarwiyah
(8 Dzulhijjah) tidaklah mengapa, karena ia termasuk bagian amal saleh yang bisa
kita lakukan pada masa 10 hari bulan Dzulhijjah. Tentu saja akan lebih baik
lagi jika dilanjutkan dengan puasa ‘Arafah (9 Dzulhijjah), agar puasa pada hari
Tarwiyah itu tidak menyendiri.
Wallahu
a’lam
0 komentar :
Posting Komentar