Jumhur ulama sepanjang zaman telah sampai pada kata sepakat bahwa
kotoran hewan dan air kencing termasuk benda najis. Ada begitu banyak
dalil yang menunjukkan kenajisannya, dan rata-rata adalah hadits-hadits
yang telah diterima keshahihanya oleh para ahli hadits.
Namun kalau kita telusuri lebih dalam, ternyata ada juga pendapat
yang agak berbeda, dengan mengatakan bahwa ada jenis hewan yang air
kencing dan kotorannya bukan termasuk najis, yaitu khusus hewan-hewan
yang daging dan susunya halal dimakan.
Pendapat ini muncul di tengah para
ulama dari mazhab al-Hanabilah (mazhab Hambali) dan merupakan pendapat yang menyendiri.
Jumhur ulama khususnya mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanafiyah
menegaskan bahwa semua benda yang keluar dari tubuh hewan lewat kemaluan
depan atau belakang adalah benda najis. Tidak perduli apakah hewan itu
halal dagingnya atau hewan itu tidak halal.
Maka dalam pandangan kedua mazhab ini, air kencing dan kotoran hewan,
hukumnya najis. Dasarnya kenajisan air kencing dan kotoran hewan
adalah sabda Rasulullah SAW :
عن ابْنِ مَسْعُودٍ إِنَّ النَّبِيَّ طَلَبَ مِنْهُ أَحْجَارَ
الاِسْتِنْجَاءِ فَأَتَى بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَرَمَى
بِالرَّوْثَةِ وَقَال : هَذَا رِكْسٌ
Nabi SAW meminta kepada Ibnu Mas'ud
sebuah batu untuk istinja’, namun diberikan dua batu dan sebuah lagi
yang terbuat dari kotoran (tahi). Maka beliau mengambil kedua batu itu
dan membuang tahi dan berkata,"Yang ini najis". (HR. Bukhari)
إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ : مِنَ الْغَائِطِ
وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ
Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthny)
Kalau pun ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah
shalat di dalam kandang kambing, dalam pendapat mereka bukan berarti
beliau shalat di atas tumpukan najis, tetapi menggunakan alas, sehingga
tetap tidak terkena najis.
Demikian juga ketika Rasulullah SAW membolehkan seorang shahabat yang
meminum air kencing unta sebagai pengobatan, dalam pandangan mereka hal
itu terjadi karena darurat saja.Sebab minum air kencing unta itu bukan hal yang lazim dilakukan
setiap hari. Sejorok-joroknya orang Arab atau penggembala unta, tidak
ada yang mau minum air kencingnya, apalagi kotorannya.
Namun pendapat mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa air kencing dan
kotoran hewan yang halal dagingnya, atau halal air susunya, bukan
termasuk benda najis.
Misalnya kotoran ayam, dalam pandangan mazhab ini tidak najis, karena
daging ayam itu halal. Demikian juga kotoran kambing, sapi, kerbau,
rusa, kelinci, bebek, angsa dan semua hewan yang halal dagingnya, maka
air kencing dan kotorannya tidak najis.
Pendapat mazhab ini tentu terasa sangat asing bagi umat Islam Indonesia
yang sejak kecil
terdidik dengan fiqih mazhab Syafi’i. Bahkan mereka yang mengaku tidak
bermazhab Syafi’i pun, tetap saja memandang bahwa air kencing dan
kotoran hewan,
seluruhnya tanpa membeda-bedakan, adalah benda-benda najis.
Namun buat orang-orang yang terdidik dengan mazhab Al-Hanabilah,
seperti mereka yang tinggal di Saudi Arabia, ketidaknajisan air kencing
dan kotoran unta, kambing, sapi dan sejenisnya, dianggap biasa-biasa
saja. Karena sejak kecil mereka diajarkan demikian.
Lalu apa dasar dan dalilnya, sehingga air kencing dan kotoran hewan-hewan itu dianggap tidak najis?
Mereka menyodorkan hadits-hadits, misalnya diriwayatkan bahwa dahulu Rasulullah SAW pernah shalat di bekas kandang kambing.
كَانَ النَّبِىُّ يُصَلِّى قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ
فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ
Dulu, sebelum dibangun Masjid Nabawi, Nabi SAW mendirikan shalat di kandang kambing. (HR. Bukhari Muslim)
Selain itu juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengizinkan seorang
shahabatnya minum air kencing unta sebagai obat untuk penyembuhan.
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا
الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ
أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا. متفق عليه
Beberapa orang dari kabilah 'Ukel
dan Urainah singgah di kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka
menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah.
Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi SAW memerintahkan mereka
untuk mendatangi unta-unta milik Nabi yang digembalakan di luar kota
Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu unta-unta tersebut. (HR. Bukhari Muslim)
Memang pendapat tidak najisnya kotoran dan air kencing hewan yang
halal dagingnya merupakan pendapat unik dan eksklusif dari mazhab
Al-Hanabilah. Sebab tidak ada satu pun ulama di luar mazhab ini yang
mendukungnya. Boleh dibilang, mazhab Al-Hanabilah dalam hal ini agak
menyendiri dalam berpendapat.
Kandang Kambing
Lalu bagaimana tanggapan mazhab lainnya atas dalil-dalil di yang diajukan oleh mazhab Al-Hanabilah di atas?
Sebagian ulama menjawab bahwa ketika Nabi SAW shalat di dalam kandang
kambing, tidak lantas menunjukkan bahwa kotoran kambing itu bukan benda
najis. Sebab masih ada banyak dalil yang tegas menyebutkan kenajisan
kotoran hewan. Maka dalil-dalil yang saling berbeda itu harus dicarikan
titik temunya.
Dan menemukan titik temunya mudah saja, karena bisa saja Nabi SAW
shalat di kandang kambing tanpa harus menyentuh kotorannya. Misalnya
dengan menggunakan alas, sehingga tidak langsung kena najisnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa sebelum digunakan untuk
shalat, kandang itu dibersihkan terlebih dahulu. Secara nalar kita bisa
bayangkan, jangankan untuk shalat, untuk sekedar duduk-duduk di dalam
kandang kambing pun, rasanya kita akan merasa risih kalau harus
menginjak-injak kotorannya. Belum lagi urusan baunya yang tidak sedap.
Dan bisa saja yang dimaksud dengan kandang kambing itu maksudnya
adalah bangunan yang dahulu pernah digunakan sebagai kandang kambing.
Tetapi kemudian sudah tidak lagi jadi kandang kambing.
Lalu apa jawaban para ulama tentang kejadian Rasulullah SAW
memerintahkan seseorang untuk minum air kencing unta? Bukankah hal itu
menunjukkan bahwa air kencing unta itu tidak najis?
Jawaban para ulama di luar mazhab Al-Hanabilah bahwa bahkan mazhab
Al-Hanabilah pun sepakat bahwa berobat dengan sesuatu yang haram atau
najis hukumnya tetap tidak dibenarkan, yakni haram hukumnya.
Dasarnya
karena Rasulullah SAW pernah bersabda :
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَل الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَل لِكُل
دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِالْحَرَامِ
Sesungguhnya Allah SWT menurunkan
penyakit dan juga obatnya. Dan Allah menjadikan semua penyakit ada
obatnya, maka berobatlah tetapi jangan berobat dengan yang haram. (HR. Abu Daud).
Kalau pun Rasulullah SAW pernah memerintahkan seseorang untuk minum
air kencing unta, maka harus dicarikan titik temunya agar tidak terjadi
benturan dalil. Dan ada banyak alternatif titik temu yang bisa menjadi
kemungkinan.
Bisa saja hal itu terjadi karena tuntutan kedaruratan yang tidak ada
jalan keluar lain di saat itu, kecuali hanya dengan minum air kecing
unta. Yang namanya darurat, maka sifatnya sementara, subjektif dan
tertentu. Dalam hal darurat, memang sesuatu yang asalnya haram, bisa
saja untuk satu momen tertentu berubah jadi halal.
Jadi secara nalar, jangankan cuma air kencing unta, bangkai babi
sekalipun, kalau namanya darurat, akan berubah sementara menjadi halal.
Tetapi begitu kondisi darurat sudah berlalu, maka bangkai babi itu
menjadi haram kembali.
Begitu pula dengan air kencing unta, bisa saja
dengan alasan darurat, hukumnya menjadi halal untuk sementara waktu.
Namun tetap saja dalam kondisi normal, air kencing unta yang asalnya
najis itu akan kembali lagi menjadi najis.
Karena hadits minum air kencing unta ini termasuk hadits yang rada
bentrok dengan umumnya hadits tentang najisnya air kecing, maka sebagian
ulama ada yang memandang bahwa ada pengecualian hukum dalam kasus-kasus
tertentu.
Misalnya, Rasulullah SAW sebagai pembawa syariah Islam, telah
menetapkan haramnya puasa wishal. Namun kita
menemukan hadits-hadits yang menyebutkan bahwa beliau SAW sendiri puasa
wishal.
Jawabannya bahwa dalam kasus-kasus di atas, telah terjadi kekhususan
atau mengecualian yang terjadi atas izin dan ketentuan dari Allah SWT.
Kekhususan itu tidak boleh dijadikan dasar hukum yang berlaku untuk
kita, tetapi khusus hanya buat Rasulullah SAW secara khusus, atau buat
orang tertentu atas sepengetahuan dan izin dari Rasulullah SAW.
Pertanyaannya, apakah ada hukum-hukum yang berlaku khusus hanya untuk orang tertentu?
Jawabnya ada, dan hal itu tertuang di dalam Al-Quran Al-Karim,
sebagaimana firman Allah dalam kisah Khidhir dan Musa. Bukankah membunuh
itu haram hukumnya? Tetapi mengapa Nabi Khidhir malah diperintah oleh
Allah SWT untuk membunuh nyawa manusia? Nabi Musa yang menjadi saksi
peristiwa pembunuhan itu pun sempat protes, tetapi ketika beliau
menyadari bahwa pembunuhan itu atas perintah langsung dari Allah SWT,
maka beliau pun diam dan menerima.
Karena termasuk pengecualian khusus, maka kita tidak boleh
menggunakan dalil itu untuk kita praktekkan sendiri. Kita diharamkan
untuk membunuh nyawa manusia. Tidak boleh kita berdalil bahwa Nabi
Khidhir saja melakukannya, kenapa kita tidak boleh?
Demikian juga dengan kasus air kencing unta, menurut jumhur ulama
hukumnya hanya halal buat konteks saat dimana Nabi SAW membolehkan buat
orang tersebut saja. Sedangkan buat kita, hukumnya tetap najis dan tidak
boleh diminum.
Dan masih ada kemungkinan yang lain, yaitu nasakh dan mansukh.
Maksudnya, bisa saja apa-apa yang tadinya dihukumi sebagai halal dan
boleh, kemudian seiring dengan berjalannya waktu, syariat Islam kemudian
mengharamkannya.
Bukankah sebelumnya nikah mut'ah itu boleh hukumnya? Namun ketika turun dalil-dalil berikutnya yang mengharamkan nikah
mut'ah, maka hukumnya pun berubah
menjadi haram.
Itulah beberapa jawaban dari para ulama di luar mazhab Al-Hanabilah,
yang menegaskan bahwa kotoran kambing dan air kencing unta tetap najis.
Wallahu a'lam.
0 komentar :
Posting Komentar