Sebagian orang
ada yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memohon syafaat kepada Nabi Muhammad
SAW di dunia ini. Bahkan sebagian yang lain menyatakan perbuatan seperti itu
termasuk ke dalam perbuatan syirik dan sesat. Untuk memberikan pemahaman yang
baik dan benar perihal memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW, berikut akan
penulis sampaikan penjelasan yang diberikan oleh Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki
dalam bukunya Paham-Paham Yang Perlu Diluruskan dengan sedikit
penyederhanaan redaksi.
Sekelompok orang
yang melarang umat Islam untuk memohon syafaat kepada Nabi SAW di dunia ini dan
bahkan memvonisnya sebagai perbuatan syirik biasanya berdalil dengan ayat
berikut:
Katakanlah, “Hanya
kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi,
kemudian kepada- Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. az-Zumar [39]: 44)
Padahal
pengambilan ayat ini sebagai dalil tidaklah tepat. Kesalahan mereka dapat
dilihat dari dua segi: Pertama, tidak ada satupun nash dari al-Qur’an
maupun al-Hadits yang melarang kita memohon syafaat kepada Nabi SAW di dunia
ini. Kedua, makna ayat di atas sesungguhnya tidaklah seperti yang mereka
kemukakan. Bahkan keadaan ayat tersebut sama dengan beberapa ayat yang lain
yang menerangkan kekhususan Allah dalam hal-hal di mana Dia adalah penguasa dan
pemilik yang mutlak, namun kemudian tidak menafikan kemungkinan diberikannya
kekhususan itu kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Simaklah ayat
berikut:
“Bertasbih
kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah-lah
yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (QS. at-Taghabun [64]: 1)
Dalam ayat di
atas Allah SWT menjelaskan bahwa semua kerajaan itu adalah milik-Nya. Namun
coba bandingkan dengan ayat berikut:
Katakanlah,
“Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 26)
Pada ayat ini
Allah menjelaskan bahwa Dia memberikan kerajaan itu kepada orang yang
dikehendaki-Nya.[1]
Demikian pula
halnya dengan syafaat. Surat Az-Zumar ayat 44 di atas memang menegaskan bahwa
hanya Allah SWT secara mutlak Dzat Pemilik Syafaat. Namun coba bandingkan
dengan ayat-ayat berikut:
“Mereka tidak
berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi
Tuhan yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam [19]: 87)
“Dan
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafaat,
akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang
hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (QS. az-Zukhruf [43]: 86)
Dengan demikian
jelaslah bahwa Allah memberi kepada orang yang dikehendaki-Nya apa saja yang
dikehendaki-Nya. Sehingga memberikan kemuliaan yang menjadi milik-Nya itu
kepada Rasul dan orang-orang yang beriman. Maka demikian pula halnya dengan
syafaat.
Semua syafaat
adalah milik Allah semata, namun Dia telah berkenan memberikan syafaat itu
kepada para nabi dan hamba-hamba-Nya yang saleh. Bahkan, kalangan awam dari
umat Islam pun diberi-Nya pula. Di mana hal ini telah dijelaskan melalui
berbagai hadits shahih dan mutawatir secara maknawi.
Dosa apakah
gerangan yang terdapat pada perbuatan orang yang meminta sesuatu kepada
pemiliknya, terutama jika si pemilik itu orang yang pemurah, sementara si
peminta sungguh berhajat pada pemberian itu?
Syafaat tak lain
adalah doa. Sedangkan setiap doa diperkenankan, ditetapkan dan diterima
–terutama jika si pendoa itu adalah para nabi dan orang-orang saleh– baik di
dunia ini maupun setelah kematian di alam kubur dan atau pada hari Kiamat
nanti.
Syafaat itu
memang telah diberikan kepada orang yang telah mengambil janji di sisi-Nya, dan
Allah berkenan menerimanya dari dan atau untuk orang yang mati dalam tauhid.
Dalam hubungan
ini tak dapat diragukan lagi bahwa ada banyak riwayat yang menerangkan bahwa sebagian
sahabat meminta syafaat kepada Nabi SAW, dan beliau sama sekali tidak pernah
mengatakan kepada mereka bahwa: “Memohon syafaat kepadaku berarti syirik!!”
Karena itu, mintalah kepada Allah, dan janganlah kamu mempersekutukan Dia
dengan siapa pun juga!”
Simaklah, Anas
bin Malik ra pernah berkata, “Ya Rasulullah, berilah aku syafaat nanti di hari
Kiamat.”
Nabi SAW
menjawab, “Aku akan perbuat, insya Allah.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, pada Bab “Keterangan
tentang Shirat”. Ia menyatakan bahwa hadits ini hasan.
Selain Anas,
banyak pula sahabat lain yang memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW.
Sawad bin Qarib,
misalnya, dia berkata di hadapan Nabi SAW, “Aku bersaksi bahwa Allah itu tidak
ada Tuhan selain Dia, dan engkau terpercaya atas segala berita gaib, dan
engkaulah wasilah terdekat di antara para rasul, yaitu wasilah menuju Allah,
wahai anak orang mulia dan baik-baik.”
Kemudian
ucapannya itu diakhiri dengan, “Maka mohonlah kiranya engkau berkenan
mensyafaatiku pada hari yang tidak bisa memberi syafaat seorang pun selain
engkau, walaupun engkau tidak pernah membutuhkan Sawad bin Qarib.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Dalail al-Nubuwwah. Sementara
Abdul Barr meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya al-Isti’ab.
Selain itu, satu
hal yang harus kita perhatikan adalah bahwa Rasulullah SAW, sebagaimana yang
terlihat dalam riwayat di atas, ternyata membenarkan dan tidak melarang sedikit
pun para sahabat yang memohon syafaat kepadanya.
Sementara Mazin
Ibn al-‘Adhub juga memohon syafaat kepada Nabi SAW ketika ia baru saja masuk
Islam, di mana ia bersenandung dengan syairnya:
“Ya
Rasulullah, kepadamu telah kulangkahkan tungganganku, melintasi daerah Fayati
dari Oman dan al-Araj, agar engkau berkenan mensyafaatiku.
“Wahai orang
yang terbaik di antara orang yang menginjak kerikil, semoga Tuhanku mengampuni
daku, agar aku dapat pulang dengan hati nan lapang.” (Riwayat Abu Nu’aim
dalam Dalail al-Nubuwwah, halaman 77)
Ukasyah Ibnu
Mahshan juga pernah memohon syafaat, yakni ketika Nabi SAW menyebutkan bahwa di
antara umatnya ada sebanyak 70.000 orang masuk Surga tanpa hisab. Maka
berkatalah Ukasyah Ibn Mahshan, “Doakanlah aku ya Rasulullah, semoga aku masuk
ke dalam golongan tersebut.” Nabi SAW dengan serta merta menjawab, “Ya,
engkau termasuk dalam golongan itu.”
Dalam hal ini
kita sudah menyadari sepenuhnya bahwa seseorang tidak akan pernah masuk
golongan “peringkat pertama” orang-orang yang masuk Surga tanpa dihisab,
kecuali setelah memperoleh syafaat qubra dari para nabi di padang
Mahsyar, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits yang mutawatir. Oleh
sebab itu, ucapan Ukasyah itu artinya sama dengan meminta syafaat kepada Nabi
SAW.
Cukup banyak
riwayat yang arti dan maknanya senada dengan apa yang sudah dibahas di atas,
yang termuat di dalam berbagai kitab hadits yang shahih. Yang pada intinya,
semua memperlihatkan kebolehan memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan
di antara mereka ada yang memintanya dengan ta’yin melalui ucapan
mereka, seperti: “Berilah aku syafaat”, atau memohon supaya masuk Surga,
meminta supaya termasuk ke dalam golongan yang terdahulu masuk Surga, memohon
agar dapat meminum air dari telaga al-Kautsar di Surga, atau memohon agar dapat
menemani atau bersama Nabi SAW di dalam Surga.
Yang disebut
terakhir ini adalah permintaan Rabi’ah al-Aslami yang pernah berkata, “Ya
Rasulullah, aku mohon kepadamu agar aku dapat menemanimu di dalam Surga.”
Lantas Nabi SAW menjawab, “Ya, tapi bantulah aku mengenai dirimu dengan
jalan banyak bersujud.”
Dalam hal ini
tampak jelas bahwa Nabi SAW sama sekali tidak mengatakan kepada Rabi’ah: “Ini
haram!! Tidak boleh diminta dari sekarang, waktunya belum tiba, tunggulah
sampai datang izin Allah untuk memberi syafaat, atau sampai kita masuk ke dalam
Surga.” Nabi SAW sama sekali tidak mengatakan hal yang demikian, baik
kepada Rabi’ah al-Asalmi maupun kepada orang lain yang meminta masuk Surga,
meminta berteman di Surga, meminta menjadi ahli telaga al-Kautsar di Surga,
meminta diampuni, dan sebagainya.
Padahal kita
yakin, semuanya itu tidak akan pernah terjadi di dunia ini, melainkan kelak di
kemudian hari, setelah al-Syafa’at al-‘Uzhma.
Maka dapat
disimpulkan di sini, bahwa semua itu merupakan permintaan syafaat, dan peran
Nabi SAW adalah pemberi kabar gembira yang menjanjikan banyak hal yang membuat
hati umatnya menjadi tenteram.
Maka tak mungkin
hal itu terlarang. Karena Nabi SAW juga tidak pernah menerangkan hukum yang
sekedar basa-basi, atau tindakan mengambil hati, misalnya. Di sisi lain, Nabi
SAW juga tidak peduli akan caci maki dalam menyampaikan kebenaran syariat
Islam. Oleh sebab itu, beliau pastilah akan menenangkan hati dan menenteramkan
jiwa seluruh umatnya dengan apa saja yang masih berjalan di atas rel kebenaran,
yang terbit dari mata air agama Islam, dan yang jauh dari kebatilan dan
kemunafikan.
Kalau sudah sah
memohon syafaat di dunia sebelum datang waktu akhirat, maka hal itu bermakna
akan diterima nanti secara hakiki pada tempat dan waktunya, setelah ada izin
Allah SWT. Jadi, bukan berarti diterima sebelum tiba waktunya.
Hal yang
demikian ini pada hakikatnya sama seperti kabar gembira mengenai orang Mukmin
yang kelak akan masuk Surga, yang bermakna bahwa pada waktu yang telah
ditentukan dan setelah ada izin dari Allah SWT mereka akan masuk Surga.
Jadi, bukan
berarti mereka memasukinya di dunia dan atau di alam barzakh. Saya tidak
percaya seorang Muslim yang berakal, bahkan yang awam sekalipun, akan memiliki
pandangan lain dari keyakinan ini.
Jika memohon
syafaat kepada Nabi Muhammad SAW semasa beliau hidup sudah dinyatakan sah dan
benar di dunia ini, maka menurut hemat kami, tidak salah pula memohon syafaat
kepada Nabi setelah beliau wafat, berdasarkan pada keyakinan Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah, yang menyatakan bahwa para nabi hidup di alam barzakh. Di
mana Nabi kita Muhammad SAW adalah Nabi yang paling agung dan mulia dalam
kehidupan tersebut.
Beliau mendengar
percakapan umatnya, kepada beliau diperlihatkan amal-amal umatnya. Beliau
selalu memohonkan ampunan dan memuji Allah. Beliau menerima shalawat dari orang
yang membaca shalawat untuknya, sekalipun bershalawat itu dari ujung dunia.
Hal ini telah
banyak disebutkan dalam berbagai hadits yang dishahihkan oleh banyak pakar hadits,
yang di antaranya adalah hadist berikut ini:
“Hidupku baik
untuk kalian, hidupku itu berbicara bagimu (lisanul hal) dan kamu pun berbicara
pula (padaku). Matiku baik pula untuk kalian. Diperlihatkan kepadaku amal
perbutanmu. Jika kulihat perbuatanmu baik, maka aku memuji Allah, dan jika
kudapati amal kalian buruk, maka aku mohonkan ampunan bagi kalian.”
Hadits ini
dinilai shahih oleh banyak pakar hadits, seperi al-Iraqi, al-Haitsami,
al-Qasthalani, al-Suyuthi dan Ismail al-Qadhi.
Oleh sebab itu,
memohon syafaat kepada Rasulullah SAW setelah beliau wafat pun sama
bermanfaatnya dengan memohon syafaat ketika beliau masih hidup, karena beliau
sanggup mendoakan dan memintakannya kepada Allah SWT, sebagaimana yang beliau
lakukan di masa hidupnya.
[1]
Ayat-ayat senada lainnya bisa Anda rujuk, misalnya, QS. Fathir [35]: 10,
kemudian bandingkan dengan QS.al-Munafiqun [63]: 8. Dan sebagainya.
0 komentar :
Posting Komentar